Permasalahan diatas timbul oleh karena banyaknya masyarakat Indonesia yang masih belum mengenal cara bekerja hukum dan pengaruh ketimpangan sosial antara si kaya dan si miskin yang berujung pada ketidaksetaraan di hadapan hukum. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan hukum menjadi peluang untuk terjadinya ketidakadilan. Alhasil, proses penegakan hukum menjadi tidak efektif dan tidak sesuai dengan nilai keadilan. Maka itu, perlu diadakan suatu pengenalan pendidikan hukum sejak dini, sehingga mampu memberikan kesadaran hukum bagi setiap individu dan dapat menjadi agen penopang pembangunan hukum nasional yang efektif. Seminimal mungkin usaha ini dapat diejawantahkan melalui kewajiban setiap Lawyer untuk tidak hanya berfokus dalam pelaksanaan pendampingan hukum, tetapi juga mendidik masyarakat. Contoh dari gerakannya adalah memberikan sarana pendampingan bagi seorang tersangka yang disiksa oknum polisi agar mau mengakui kesalahannya saat diinterogasi. Isitlahnya, ketika melakukan pendampingan hukum wajiblah melibatkan masyarakat yang menjadi klien untuk ikut aktif berperan dalam kasusnya. Sehingga, transfer of knowledge berlangsung di sana, pendidikan hukum kritis terjadi di dalamnya dan bersamaan dengannya pendampingan hukum tetap dilaksanakan. Sehingga, tercipta kondisi yang mampu mengubah ketidasetaraan menjadi lebih adil. Dengan begitu, masyarakat akan lebih percaya diri dalam menghadapi kasusnya, mengerti akan hukumnya, mengerti kedudukannya, mengerti cara bertindak, mengerti cara memperkuat diri dan menjadi sebuah kontinuitas yang kemudian dapat ditularkan kepada orang lain.
Kedua, Hukumnya. Selama ini praktek legislasi yang dijalankan oleh Eksekutif dan Legislatif lebih didasarkan pada kompromi politik ketimbang kebutuhan publik. Misalnya, penyusunan dan pengesahan UU Cipta Kerja yang dinilai kontroversi. Beberapa pihak menyatakan sebagian subtansinya masih bertentangan dengan hak-hak sebagaian profesi dan proses formilnya yang tertutup, rahasia, dan terkesan terburu-buru. Sedari awal pembentukannya pun jarang dilakukan pembahasan perubahan isi yang memperjuangkan urgensi masyarakat.
Permasalahan utama disini adalah pola pikir pemerintah yang selalu mengabaikan peran rakyat dalam mengontrol birokrasi pemerintah dan tidak mengajak pro-aktif dalam pembentukan UU yang mendasari kehidupan mereka. Akibatnya, banyak terjadi kekosongan hukum guna melindungi hak warga negara yang dilakukan oleh Negara sendiri. Pelibatan warga negara dalam proses legislasi haruslah dilakukan. Tujuannya yaitu menjalankan fungsi kontrol masyarakat terhadap kinerja wakil dan pemegang legitimasi kekuasaanya. Tentunya dengan memastikan porsi yang diambil sesuai dengan kapasitas tiap unsur agar dapat dipertanggungjawabkan. Saran diatas pada dasarnya berpijak pada argumen yang jelas, yaitu hukum bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi secara kolektif termasuk masyarakat adalah tanggung jawab bersama. Sehingga, ketika ada kesalahan pembentukannya tidak selalu pemerintah yang dikambinghitamkan, tetapi juga seluruh unsur yang turut andil dalam prosesnya.
Ketiga, Masyarakat. Masyarakat sebagai pelaksana suasana sosial dan pengaruh sosial dalam proses penegakan hukumnya. Masalah utama yang kita hadapi adalah kurangnya kecerdasan masyarakat akan sistem hukum. Sebagai contoh, belakangan ini ada banyak kasus perampokan, pencurian dan kasus kejahatan lainnya. Ketika pelaku tertangkap tangan maka massa akan mengeroyok dan memukulinya bahkan sampai berujung kematian. Pengaruh dari tindakan ini telah membentuk opini publik bahwa pelaku kejahatan harus dihukum dengan hukuman setimpal, sekalipun menggunakan sanksi sosial yang terkadang berhenti di hukum rimba.
Melihat fenomena diatas, jika kita apatis terhadap pemahaman hukum masyarakat, maka masyarakat akan menjadikannya sebagai kebiasaan. Walaupun dilakukan penindakan oleh masyarakat, tetapi hukum yang diberikan tidak memberikan rasa keadilan. Maka dari itu, harus ada pelibatan masyarakat dalam pendidikan dan praktek hukum yang dapat mengantarkannya pada perubahan kehidupan sosial menuju pola hubungan yang lebih sejajar, demokratis, serta bersinergi mewujudkan kesejahteraan dalam struktur social-ekonomi, hukum, dan politik.