Seseorang yang merasa hak konstitusionalnya dilanggar oleh berlakunya sebuah undang-undang, dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. Namun, Tidak semua orang dapat mengajukan permohon, hanya pihak-pihak yang dinyatakan memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi. Yang memiliki kedudukan Hukum untuk mengajukan permohonan pengujian undang-undang ke Mahkamah Konstitusi menurut UU MK secara tegas disebutkan dalam Pasal 51 ayat (1) butir a UU MK adalah perorangan warga negara Indonesia.
Dengan diratifikasinya Kovenan Internasional tentang hak-hak sipil dan politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) telah memberikan kewajiban bagi Negara Indonesia untuk melindungi siapapun yang berada di wilayahnya. Khusus untuk bidang persamaan kedudukan dihadapan hukum, diatur dalam Pasal 16 dan 26 ICCPR.
[rml_read_more]
Pasal-pasal dalam Bab XA UUD Tahun 1945 tentang HAM, hampir seluruh pasalnya diawali dengan perkataan “setiap orang berhak…” (kecuali pasal 281 ayat (3), (4), dan (5) serta Pasal 28J ayat (2)), sehingga yang dilindungi haknya oleh UUD Tahun 1945 adalah semua orang yang berada di wilayah Republik Indonesia baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing. Perlakuan tanpa diskriminatif diakui dalam UUD Tahun 1945 dalam Pasal 281 ayat (2) yang menyatakan bahwa setiap orang bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.
Khusus yang berkaitan dengan permohonan perkara nomor 2-3/PUU-V/2007 tentang pengujian Undang-Undang Narkotika dimana Pemohonnya ada yang warga negara asing yaitu warga negara Autralia, Pemohon mendalilkan bahwa Pemohon yang bukan warga negara Indonesia pun memiliki hak yang sama dalam hukum sebagaimana disebutkan dalam Pasal 26 UUD Tahun 1945 yaitu “semua orang berkedudukan sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan yang sama tanpa diskriminasi apapun”. Para Pemohon dalam perkara a quo, dipidana dengan hukuman mati, dan keberatan atas penjatuhan hukuman mati dianggap tidak tepat terutama untuk perkara narkotika.
Indonesia telah meratifikasi ICCPR yang didalamnya menyatakan bahwa hak untuk hidup merupakan hak yang mendasar yang tidak boleh dilanggar oleh siapapun dan dalam keadaan apapun. Namun ada pengecualian dalam ICCPR tentang penerapan hukuman mati, yaitu hukuman mati hanya dapat diterapkan dalam kejahatan yang paling serius dan sesuai dengan hukuman yang berlaku pada saat kejahatan berlangsung, ada jaminan memperoleh pemeriksaan yang adil tidak ada diskriminasi dalam pemeriksaan, tidak merendahkan merendahkan martabat, diputuskan oleh pengadilan umum dan diberikan hak untuk memohon untuk memperoleh keringanan.
Khusus untuk pembahasan hukuman pidana mati untuk kasus narkotika, dalam ICCPR pun tidak ada pembatasan yang menyatakan bahwa khusus kasus narkotika tidak dapat diberikan hukuman mati. Kasus narkotika termasuk kasus yang besar dan bahkan meresahkan masyarakat, sehingga agar tidak timbul korban lebih banyak maka harus ada hukuman yang dapat memberikan efek jera, jika seseorang akan melakukan atau terjun ke dalam duni narkotika maka dia akan berfikir dua kali.
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.