Pasal 28G ayat (2) UUD 1945 menjamin secara tegas kebebasan dari penyiksaan atau perbuatan yang merendahkan derajat martabat manusia. Salah satunya ialah perlindungan dari kekerasan seksual yang merupakan hak setiap warga untuk bebas dari perendahan derajat martabat. Namun, kasus-kasus kekerasan seksual masif terjadi dan seolah diabaikan oleh negara.
Komnas Perempuan 2022 menyatakan bahwa selama kurun waktu 10 tahun, tahun 2021 tercatat sebagai tahun dengan jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender (KBG) tertinggi, yakni meningkat 50% dibanding tahun 2020, sebanyak 338.496 kasus.
Dari banyaknya kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang dilaporkan tersebut melahirkan suatu budaya ketidakpercayaan terhadap laki-laki sebagai korban kekerasan seksual, di sisi lain juga sebagai akibat dari glorifikasi maskulinitas yang berlebih (toxic masculinity).
Toxic masculinity adalah suatu tekanan budaya bagi kaum laki-laki untuk berperilaku dan bersikap dengan cara tertentu dimana seorang laki laki harus menunjukkan kekuatan, kekuasaan, dan pantang mengekspresikan emosi. Paham toxic masculinity secara tidak langsung menyangkal bahwa laki-laki juga bisa menjadi korban kekerasan seksual. Hal inilah yang menyebabkan penemuan kasus kekerasan seksual terhadap laki-laki menjadi suatu hal yang tabu.
Indonesia Judicial Research Society (IJRS) melaporkan bahwa setidaknya terdapat 12.389 laki-laki di Indonesia pernah mengalami kekerasan seksual. Kekerasan ink terjadi baik secara verbal, fisik, pemaksaan melihat konten porno, intimidasi atau ancaman beraktivitas seksual dan atau perkosaan.
Survei ini juga diperkuat dengan Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR). Pada tahun 2021, survei ini menunjukkan sebanyak 34% anak laki-laki pernah mengalami salah satu jenis kekerasan sepanjang hidupnya. Misalnya, kekerasan seksual yang menimpa remaja laki-laki berstatus sebagai pelajar (16 tahun) di Probolinggo. Remaja ini diperkosa oleh janda berprofesi sebagai biduan dangdut. Selain ini juga berupa perundungan dan pelecehan seksual karyawan laki-laki di KPI.
Pada 2014, Plan International menerbitkan paper berjudul, “Into The Mainstream: Addressing Sexual Violence against Men and Boys in Conflict.” Paper ini didukung hasil survei di 189 negara, di mana 21 negara di antaranya belum memberikan perlindungan hukum yang komprehensif bagi korban laki-laki.
Pemerkosaan terhadap laki-laki tidak didefinisikan dengam terminologi atau klasifikasi kejahatan yang sama layaknya korban perempuan. Hal ini karena pemerkosaan terhadap perempuan mungkin memiliki konsekuensi hukum yang berbeda, atau tidak diakuinya pemerkosaan terhadap laki-laki sebagai suatu delik yang dapat dipidana.
Di sisi lain, problematika serupa juga ditemukan dalam KUHP lama yang belum mengenal istilah “kekerasan seksual”. Hal ini mengakibatkan penafsiran terhadap laki-laki sebagai korban perkosaan itu sempit.
Pasal 286-288 KUHP secara eksplisit menyatakan bahwa korban perkosaan haruslah seorang perempuan yang mengalami kekerasan atau ancaman kekerasan. Tampaknya, pembuat aturan memandang pemaksaan persetubuhan terhadap laki-laki, tidak akan mengakibatkan sesuatu yang buruk atau merugikan bagi laki-laki.
Dari permasalah tersebut, salah satu pertimbangan dibentuknya UU TPKS ialah setiap orang berhak mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia. Frasa “setiap orang” menunjukkan bahwa UU TPKS menjamin hak konstitusional setiap warga tanpa memandang gender tertentu.
Apakah dibentuknya Komnas Perempuan yang bertugas menegakkan hak perempuan Indonesia dapat dikatakan sebagai diskriminasi terhadap laki-laki?
Inilah yang disebut dengan diskriminasi positif (affirmative action) yang membolehkan negara memperlakukan secara lebih kepada kelompok tertentu. Komnas Perempuan lahir dari tuntutan masyarakat, terutama kaum perempuan kepada pemerintah untuk mewujudkan tanggung jawab negara dalam menanggapi dan menangani persoalan hanya terbatas pada kekerasan terhadap perempuan.
Referensi
https://www.komnasperempuan.go.id/profil
https://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui
http://ijrs.or.id/kekerasan-seksual-pada-laki-laki-diabaikan-dan-belum-ditangani-serius/
https://www.jogloabang.com/pustaka/uu-12-2022-tpks
Bahder Johan Nasution, Negara Hukum Dan Hak Asasi Manusia (Mandar Maju 2018)