Seorang hakim seharusnya memberikan contoh yang baik dan menjalankan tugas dengan etika yang berlaku dalam profesinya. Jika sudah seperti ini dan terjadi terus menerus maka akan tercipta stigma bahwa hukum dapat dibeli melalui hakim. Stigma itu mengakibatkan profesi hakim menjadi tercemar karena ulah beberapa oknum namun semua terkena dampaknya.
Pada 31 Januari 2020 dalam sidang kode etik dengan agenda Pembacaan Putusan terhadap pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia terhadap Sulaiman Djoyoatmojo di ruang sidang DKD PERADI kantor Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Peradi Grand Slipi Tower lantai 11, Jl S. Parman Kav. 22-24, menyatakan Soelaiman Djoyoatmojo terbukti melanggar Kode Etik Advokat Indonesia. Dalam sidang Pembacaan amar putusan ini, diketahui bahwa kasus ini bermula saat Teradu Advokat Sulaiman meminta sejumlah uang untuk sebagai “jalan damai` antara PT. Mahakarya Agung Putera dengan konsumennya bernama Jhon Candra.
Tindakan “meminta sejumlah uang” tersebut, oleh hakim memutuskan telah melanggar ketentuan kode etik advokat. Tindakan tersebut adalah tindakan yang salah dan melanggar pasal 3 Huruf B dan D Kode Etik Advokat Indonesia, dan menyebabkan keadilan di Indonesia sulit untuk diraih.
Berdasarkan tulisan diatas itu adalah penyebab keadilan di Indonesia sulit untuk dicapai. Faktor utamanya adalah oknum penegak hukum itu sendiri. Hukum di Indonesia sendiri sejatinya sudah dapat menciptakan keadilan namun penegaknya sering melakukan tindakkan yang melanggar kode etik atau etika profesinya. Jika negara ini ingin hukum dapat berdiri dengan tegak. Maka, para penegak hukum harus dibekali lebih tentang kode etik dan penerapannya.
Para penegak hukum di negeri ini harus ditanamkan pentingnya menjalankan etika profesinya sehingga tujuan awal dapat tercapai, karena penegak hukum merupakan cerminan dari masyarakat luas. Perlu adanya peraturan yang lebih tegas apabila ada oknum-oknum penegak hukum yang melanggar kode etik yang telah ditetapkan.