Kekerasan seksual di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2020 menyatakan kekerasan terhadap perempuan dalam tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2017 tercatat ada 348.446 kasus, pada 2018 tercatat ada 406.178 kasus, dan pada 2019 tercatat ada 431.471 kasus. Peningkatan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang tiap tahun semakin meningkat dapat menunjukkan bahwa perlindungan dan keamanaan terhadap perempuan di Indonesia masih rendah (Komnas Perempuan, 2020).
Di era digital seperti sekarang, kekerasan seksual terhadap perempuan tidak hanya terjadi secara langsung, dapat pula terjadi melalui dunia digital. Kekerasan seksual terhadap perempuan dalam dunia digital lebih dikenal dengan istilah Kekerasan Berbasis Gender Siber atau KBGS. Komnas Perempuan mencatat meningkatnya Kekerasan Berbasis Gender Siber dalam kurun waktu tiga tahun terakhir yaitu pada tahun 2017 terdapat 16 kasus, 2018 terdapat 97 kasus, dan 2019 terdapat 281 kasus.
Salah satu Kekerasan Berbasis Gender Siber yang marak terjadi di Indonesia adalah Revenge Porn (balas dendam porno). Revenge porn dapat didefiniskan sebagai kegiatan pendistribusian atau penyebaran gambar atau video yang mengandung konten seksual tanpa persetujuan dari pihak yang bersangkutan. Penyebaran konten yang berisi seksual tersebut biasanya dilakukan oleh kekasih, mantan kekasih, atau siapa saja yang berniat untuk mengancam korban yang terlibat di dalam konten tersebut.
Pembuatan konten porno juga dapat dilakukan dengan sengaja atau tidak sengaja, secara sukarela maupun dalam paksaan. Beberapa kasus foto atau video telanjang direkam secara diam-diam dengan mengintip-intip. Dalam pemuatan konten, korban ada di bawah ancaman bahwa pelaku telah diam-diam memiliki foto telanjang korban kemudian memaksa korban untuk melakukannya lagi atau foto sebelumnya akan disebar. Sehingga korban merasa takut dan khawatir atas ancaman tersebut dan terpaksa mematuhinya (Karima Melati, 2018).
Hal ini juga melanggar Hak Asasi Manusia yang diatur dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi “Setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.” Pengertian dari korban sendiri menuru Pasal 1 angka 2 UU No. 13 Tahun 2006 adalah seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Akibat dari adanya revenge porn ini dinilai cukup serius bagi korban karena dapat mengakibatkan disfungsi kehidupan sosial dan dapat menghancurkan kehidupan profesional korban. Dalam kasus yang lain juga dapat mempengaruhi mental sehingga korban melakukan bunuh diri, mengubah identitasnya, mengalami depresi, dan lain sebagainya.
Para pengguna media sosial yang mengetahui adanya konten seksual seringkali bukan membela atau berada di pihak korban namun menyalahkan dan menyudutkan korban dengan menghina, mempermalukan dan melecehkan korban berkali-kali. (Perangin-angin, Rahayu and Dwiwarno, 2019). Hal ini semakin membuat korban trauma dan enggan untuk bercerita atau mengadukannya kepada pihak penegak hukum.
Tidak sampai disitu, seringkali korban mendapatkan perlakuan victim blaming atau menyalahkan korban dalam melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya. Hal tersebut dilakukan dengan menanyakan “apa korban menikmatinya saat beradegan didalam video?” Perlakuan victim blaming dapat diakibatkan kurangnya pengetahuan dari pihak penegak hukum dalam menangani korban kekerasan seksual.
Jika mengacu pada asas equality before the law (persamaan dihadapan hukum) yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD NRI 1945 perlakuan victim blaming yang sering terjadi tersebut bertentangan dengan konstitusi Negara Republik Indonesia. Rendahnya perhatian masyarakat terhadap korban juga dapat menunjukkan bahwa masyarakat masih kurang sadar akan pentingnya hak asasi manusia yang seharusnya dijunjung tinggi di negara hukum seperti Indonesia.