Kebijakan pemerintah di bidang moneter telah dikeluarkan dalam rangka mengantisipasi dampak krisis keuangan pada sektor perbankan. Penetapan kebijakan cadangan wajib minimum (giro wajib minimum) untuk menambah kepercayaan diri bank terhadap kondisi likuiditas perbankan yang melemah akibat krisis keuangan (Sudarsono, 2009).
Likuiditas wajib minimum atau giro wajib minimum bank merupakan hal yang sangat penting, baik yuridis maupun Ekonomis dan menjadi salah satu alat otoritas moneter dengan menggunakan perubahan jumlah uang beredar (money supply). Jika bank sentral menurunkan giro wajib minimum maka daya ekspansi kredit bank umum akan meningkat, sehingga jumlah uang beredar akan bertambah.
Adapun yang dimaksud dengan manajemen pengkreditan bank adalah kegiatan mengatur pemanfaatan dana bank, supaya produktif, aman, dan giro wajib minimalnya tetap sehat. Manajemen pengkreditan akan dapat dilakukan dengan baik jika didasarkan perhitungan yang matang dan terpadu dari pendapatan, keamanan, dan giro wajib minimalnya. Oleh Karena itu, pimpinan bank dituntut agar melaksanakan perencanaan, alokasi, dan kebijakan penyalur kreditnya.
Kredit yang disalurkan perbankan merupakan salah satu jalur mekanisme transmisi kebijakan moneter yang pertama kali dikemukakan oleh Bernanke dan Gertler pada tahun 1988. Pendekatan kredit ini beranggapan bahwa meningkatnya jumlah uang beredar sebagai akibat adanya ekspansi moneter akan meningkatkan deposito yang selanjutnya meningkatkan loanable fund sehingga terjadi peningkatan kredit perbankan. Kenaikan kredit perbankan ini akan meningkatkan komponen belanja (spending) dalam perekonomian yang selanjutnya akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sesuai dengan kondisi perekonomian Indonesia yang kegiatannya bertumpu pada aset keuangan kredit perbankkan, maka pemerintah perlu melaksanakan kebijakan moneter melalui pengelolaan atau pengaturan simtem kredit perbankkan secara dinamis, sesuai dengan kebutuhan dan kondisi struktur potensi ekonomi masyarakat daerah (resource base) yang akan digerakkan.
Kebijakan moneter ditetapkan oleh Bank Indonesia agar tujuan antara intermediate target berupa penentuan indikator ekonomi dapat tercapai sehingga dengan itu tujuan pembangunan ekonomi dapat diwujudkan.
Kebijakan yang dikeluarkan bank indonesia dalam membantu percepatan perkembangan indonesia yakni :
1. MEMPERBESAR ALTERNATIF PEMBIAYAAN JANGKA MENENGAH DAN PANJANG BAGI SEKTOR STRATEGIS DAN MELENGKAPI INFRASTRUKTUR PASAR KEUANGAN,
diantaranya melalui:
• Pemberian fasilitas dan insentif kepada calon emiten melalui Reksa Dana Penyertaan Terbatas (RDPT), Efek Beragun Aset (EBA), Dana Investasi Real Estate (DIRE), Indonesia Goverment Bond Futures (IGBF), Medium-Term-Notes (MTN), dan pengembangan produk investasi berbasis syariah, di antaranya Sukuk Wakaf.
• Mendorong realisasi program keuangan berkelanjutan dan blended finance untuk proyek-proyek ramah lingkungan dan sosial.
2. MENDORONG PENINGKATAN KONTRIBUSI PEMBIAYAAN LEMBAGA JASA KEUANGAN KEPADA SEKTOR PRIORITAS SERTA MENDORONG REALISASI PROGRAM KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) PARIWISATA,
diantaranya melalui:
• Pengembangan skema pembiayaan serta ekosistem pendukungnya, termasuk asuransi pariwisata.
• Dukungan pendampingan kepada pelaku UMKM dan mikro di sektor pariwisata.
• Pemberian dukungan percepatan peran Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) dalam mendorong ekspor.
3. MEMPERLUAS PENYEDIAAN AKSES KEUANGAN BAGI UMKM DAN MASYARAKAT KECIL DI DAERAH TERPENCIL,
diantaranya melalui :
• Peningkatan kerja sama dengan instansi terkait dalam memfasilitasi penyaluran KUR (khususnya skema klaster bagi UMKM di sektor pariwisata dan ekspor).
• Percepatan pembentukan BUMDes Center bekerja sama dengan Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi.
• Peningkatan akses keuangan melalui pemanfaatan teknologi, seperti perluasan Laku Pandai dalam menjadi agen penyaluran kredit mikro daerah.
• Pengembangan dan pengoptimalan peran Perusahaan Efek di daerah, serta merevitalisasi peran Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) dan Satgas Waspada Investasi.
4. MENDORONG INOVASI INDUSTRI JASA KEUANGAN DALAM MENGHADAPI DAN MEMANFAATKAN REVOLUSI INDUSTRI 4.0,
antara lain dengan :
• Menyiapkan ekosistem yang memadai dan mendorong lembaga jasa keuangan melakukan digitalisasi produk dan layanan dengan manajemen risiko yang memadai.
• Memfasilitasi dan memonitor perkembangan start up fintech, melalui kerangka pengaturan yang kondusif dalam mendorong inovasi dan memberi perlindungan kepada konsumen.
• Meningkatkan literasi masyarakat terhadap fintech dan memperkuat penegakan hukum bagi start-up fintech ilegal.
5. MENINGKATKAN DAYA SAING DAN DAYA TAHAN LEMBAGA JASA KEUANGAN NASIONAL,
antara lain dengan :
• Memanfaatkan teknologi dalam proses bisnis, antara lain dalam pengawasan perbankan berbasis teknologi dan perizinan yang lebih cepat.
• Mendorong penguatan struktur perbankan dengan meningkatkan skala ekonomi dan daya saing serta efisiensi perbankan melalui intensitas penggunaan teknologi informasi.
• Mendorong pemanfaatan platform sharing untuk meningkatkan penetrasi dan efisiensi industri perbankan syariah.
Pembiayaan
Teori pembiayaan perlu digunakan dalam penyusunan Naskah Akademik karena inti dari permasalahan yang akan dipecahkan dalam suatu undang-undang ini adalah mengenai pembiayaan pembangunan infrastruktur yang tidak mencukupi atau investasi jangka panjang yang penuh dengan risiko.Kebutuhan modal untuk membiayai investasi di bidang barang dan jasa merupakan masalah yang paling fundamental dan mendapat perhatian mendalam dalam literatur keuangan. Salah satu teori penting dalam literatur terkait dengan pembiayaan investasi telah dikemukakan oleh Modigliani dan Miller (MM) tahun 1950-an.
Capital-structure irrelevant proposition. Teori ini pada intinya menyatakan untuk membuat keputusan investasi suatu perusahaan membutuhkan modal. Pandangan tradisional menyatakan bahwa investasi perusahaan dapat dibiayai dari sisa hasil usahanya. Kemudian dengan berkembangnya pasar finansial, bank dan pasar modal, perusahaan memiliki alternatif sumber pembiayaan untuk membiayai investasinya. Sumber pembiayaan yang berasal dari dalam perusahaan dikenal dengan pembiayaan internal. Sedangkan sumber pembiayaan yang berasal dari luar perusahaan dikenal dengan sumber pembiyaan eksternal.
Sumber pembiayaan internal memiliki kelebihan tetapi juga memiliki kekurangan. Kelebihan dari penggunaan dana internal perusahaan adalah relatif mudah diperoleh karena merupakan bagian dari keuntungan perusahaan (laba) yang tidak dibagikan kepada pemilik sahamnya. Hal ini lazimnya dilakukan oleh perusahaan dengan menentukan besarnya modal yang dibutuhkan untuk membiayai investasi tetap melalui rapat para pemegang saham. Ketika para pemegang saham (investor) setuju dengan proposal investasi yang diusulkan, secara prinsip solusi masalah pembiayaan investasi yaitu jumlah modal yang dibutuhkan telah didapatkan.
Masalah yang sering muncul terkait dengan pembiayaan internal adalah apabila jumlah modal yang dapat disediakan oleh dana internal untuk membiayai investasi tidak cukup menutup kebutuhan modal secara keseluruhan. Jika alternatif modal dari luar perusahaan tidak dapat dilakukan, konsekuensi yang timbul dari penggunaan internal adalah target output tertentu yang ditetapkan tidak tercapai atau dengan kata lain proses produksi tidak berada pada kondisi yang optimal. Masalah menjadi semakin kompleks apabila sektor-sektor yang sedang dikerjakan memiliki ciri misalnya optimal apabila telah mencapai skala ekonomi tertentu.
Di pihak lain, apabila pasar finansial telah berkembang sempurna, maka perusahaan tidak lagi tergantung pada ketersediaan dana internal (terbatas). Perusahaan dapat memperoleh dana dari luar perusahaan untuk membiayai investasinya. Sumber-sumber dana dari luar perusahaan dapat berasal dari bank atau pasar modal atau pasar finansial yang lain. Bila perusahaan memutuskan untuk menggunakan modal dari luar perusahaan atau sebagian modal untuk membiayai investasi diperoleh dari luar perusahaan, maka dana dari luar perusahaan dinamakan dana eksternal.
Modigliani dan Miller mengembangkan hipotesis yang sangat terkenal. Kedua peneliti ini menegaskan bahwa jika pasar finansial telah berkembang secara sempurna, struktur kapital untuk membiayai investasi suatu perusahaan (komposisi antara modal dari internal dan eksternal) bukanlah merupakan masalah yang penting dalam pembiayaan investasi.
Berdasarkan teori yang dikembangkan dijelaskan bahwa nilai suatu perusahaan ditentukan oleh kekuatan untuk mendapatkan pendapatan (earning power) dan risiko dari aset yang dimiliki. Nilai perusahaan tidak ada kaitannya dengan bagaimana atau cara perusahaan tersebut membiayai investasi atau membagi dividen-dividennya.
Implikasi dari teori pembiayaan perusahaan menyatakan bahwa suatu proyek investasi untuk menghasilkan target output dan atau keuntungan yang optimal tidak selalu dapat didanai dari sumber pembiayaan internal. Agar optimal, maka perlu dikembangkan alternatif kebijakan yang dapat mendorong berkembangnya pasar finansial yang sempurna, agar perusahaan dapat mencapai tingkat output yang optimal. Teori yang dikemukakan oleh Modgliani dan Miller mengenai struktur kapital di tingkat agregat dapat dijelaskan dengan menggunakan teori Harrod Domar.
Teori ini dalam praktik dapat menjelaskan hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan perkiraan modal yang dibutuhkan oleh suatu negara untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang menjadi targetnya. Dengan mengetahui ICOR (Incremental Capital Output Ratio) maka jumlah kebutuhan investasinya dapat ditentukan.
Hambatan Pembiayaan (Financial Constraint)
Teori hambatan pembiayaan memberikan penjelasan mengapa pertumbuhan ekonomi di banyak negara tidak mencapai kondisi yang optimal meskipun kesempatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi sangat terbuka. Salah satu faktor yang dapat menjelaskan mengenai hal ini adalah adanya hambatan dalam pembiayaan investasi.
Perusahaan merupakan salah satu dari pelaku ekonomi memiliki peran penting dalam memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional. Namun,secara ekonomi, suatu perusahaan di dalam memproduksi barang dan jasa memerlukan faktor produksi modal. Untuk membiayai proyek-proyeknya, perusahaan dapat didanai dari modal sendiri (dana internal), menggunakan dana dari luar perusahaan atau kombinasi dari keduanya.
Dana internal adalah dana yang bersumber dari internal perusahaan, di antaranya modal sendiri, keuntungan yang ditahan, dan digunakan untuk membiayai proyek-proyek baru yang potensial. Kegiatan ini dikenal dengan kegiatan re-investment.
Dalam literatur, hipotesis Modigliani dan Miller telah memberikan inspirasi para ekonom untuk mengklarifikasi ada tidaknya hambatan pembiayaan dalam suatu perekonomian (negara). Modigliani-Miller menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara-negara maju dan berkembang ditentukan oleh pertumbuhan investasi di negara tersebut. Namun, pertumbuhan investasi seringkali tidak optimal karena adanya hambatan pembiayaan yang akan mempengaruhi keputusan perusahaan melakukan investasi.
Hambatan pembiayaan dalam konteks teori Modigliani dan Miller menggambarkan ketidakmampuan perusahaan dalam suatu perekonomian untuk mendapatkan akses untuk memperoleh sumber-sumber pembiayaan yang digunakan untuk menjalankan kegiatan usahanya.
Di negara yang perekonomiannya sudah maju, bank dan pasar modal mempunyai peran yang sangat signifikan sebagai sumber- sumber pembiayaan utama sektor industrinya. Sebaliknya, suatu perekonomian yang pasar modal dan pasar keuangannya belum berkembang baik, seperti Indonesia, menyebabkan banyak perusahaan mengalami hambatan pembiayaan untuk dapat merealisasikan proyek-proyek investasi untuk mencapai tingkat pertumbuhan yang optimal.
Penyebab terjadinya hambatan pembiayaan secara umum dibedakan menjadi dua yaitu faktor-faktor yang bersifat struktural dan non struktural. Faktor yang bersifat struktural misalnya, peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah tidak mendukung pertumbuhan investasi.
Di sektor perbankan, peraturan bagi perusahaan yang ingin mendapatkan kredit untuk membiayai proyek investasi memberlakukan adanya jaminan berupa prospek usaha dan kolateral dengan jumlah tertentu sehingga tidak mampu dipenuhi oleh semua perusahaan. Peraturan-peraturan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan kreditur. Penetapan premi risiko dalam bentuk ketentuan-ketentuan tersebut dapat meningkatkan biaya investasi menjadi relatif mahal dibandingkan dengan menggunakan sumber pendanaan internal.
Di pasar modal, sejumlah persyaratan telah ditetapkan bagi perusahaan yang ingin memperoleh akses pembiayaan melalui pasar modal. Salah satu dari peraturan tersebut adalah peraturan terkait dengan keterbukaan informasi yang ditetapkan oleh Bursa Efek dan otoritas Pasar Modal. Salah satu persyaratan utamanya adalah kondisi keuangan perusahaan harus sehat dan laporan keuangan harus memperoleh opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dalam tiga tahun berturut-turut.
Ketika perusahaan mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh pasar modal, maka tidak serta merta perusahaan akan memperoleh dana yang dibutuhkan. Faktor kondisi fundamental perusahaan juga akan sangat berpengaruh terhadap hasil yang akan didapatkan. Bila investor menilai perusahaan memiliki prospek yang baik, maka permintaan terhadap saham akan meningkat dan dana yang dibutuhkan akan dapat digunakan perusahan untuk merealisasikan proyek-proyek yang dijanjikan kepada para pemegang saham dari perusahaan tersebut.
Restrukturisasi perbankan dalam percepatan perkembangan indonesia
Dampak makroekonomi dari restrukturisasi perbankan secara ringkas dapat dilihat dari sudut fiskal, moneter, dan permintaan atau penawaran aggregat. Dari aspek fiskal, intervensi pemerintah dan bank sentral dalam proses restrukturisasi perbankan seringkali membawa beban fiskal ataupun quasifiskal yang berat. Tidak jarang hal ini mengakibatkan defisit fiskal dan peningkatan utang pemerintah yang amat besar sehingga mengganggu kestabilan makroekonomi.
Dari aspek moneter, upaya melindungi sistem pembayaran nasional dari kelum– puhan akibat pelarian-simpanan yang sistemik seringkali pula memerlukan tindakan darurat berupa pemberian likuiditas dari bank sentral sebagai lender of the last resort. Namun, hal ini akan mengakibatkan ekspansi uang beredar yang seringkali sangat besar dan mungkin akan bertentangan dengan tujuan meredam tekanantekanan terhadap inflasi dan nilai tukar yang biasanya muncul dalam situasi krisis keuangan yang sistemik.
Proses restrukturisasi perbankan juga akan dapat mempengaruhi keter– sediaan dan proses alokasi kredit sehingga respons dari kegiatan produksi dan investasi akan tergantung kepada seberapa cepat restrukturisasi perbankan dilakukan.
Selain itu, alokasi ‘loss” (allocation of loss) dalam proses restrukturisasi perbankan akan mempengaruhi kekayaan dari para pemilik bank, kreditur bank, dan deposan, sehingga memiliki dimensi sosial dan politik yang cukup sensitif bila tidak ditangani secara baik. Dengan menyadari terdapatnya berbagai aspek makro di atas, restrukturisasi perbankan di banyak negara rujukan umumnya dirancang dalam suatu program yang bersifat komprehensif, mencakup baik upaya penyehatan individual bank dan sistem perbankan maupun pertimbangan dampaknya bagi pemulihan kondisi makroekonomi. Konflik dalam mencapai sasaran mikro dan makro seperti diuraikan di atas seringkali tidak terhindarkan.
Namun, pengalaman di negara-negara rujukan menunjukkan bahwa konflik akan dapat dikendalikan apabila pilihan instrumen yang digunakan dapat meminimalkan moral hazard, menggunakan biaya yang minimum, serta menciptakan sistem insentif yang sehat bagi pemilik dan pengelola bank untuk senantiasa memelihara kesehatan bank secara berkesinambungan.
Patut dikemukakan bahwa keputusan untuk melakukan restrukturisasi perbankan yang komprehensif di negara-negara rujukan tersebut mencerminkan kemampuan mereka mengenali luas dan dalamnya permasalahan (proper diagnosis) serta adanya visi yang jelas mengenai arah penyelesaian krisis perbankan yang dihadapi.
Hal-hal ini memungkinkan langkah-langkah korektif yang diambil dapat ditempuh dengan cepat (prompt action) sehingga ikut mengurangi terjadinya kerugian yang lebih besar seandainya.
Strategi restrukturisasi perbankan
Program restrukturisasi perbankan yang komprehensif memiliki sasaran untuk menyehatkan posisi keuangan dan operasional bank secara individu, mengatasi kelemahan dan kekurangan yang terdapat di dalam lingkungan operasi dan konfigurasi sistem perbankan, serta memulihkan kepercayaan masyarakat. Meskipun tidak ada suatu resep yang dapat berlaku secara umum, pengalaman di negara-negara rujukan menunjukkan bahwa selain komprehensif, suatu strategi restrukturisasi perbankan yang berhasil memiliki ciri-ciri dapat dilaksanakan dengan cepat (prompt action), menerapkan exit policy yang tegas, serta memiliki suatu badan pengendali (lead agency) yang berwenang penuh melaksanakan restrukturisasi perbankan.
Secara teknis, inti dari setiap strategi restrukturisasi perbankan menyangkut upaya mempercepat penyelesaian masalah solvabilitas (masalah stock) dan pemulihan profitabilitas (masalah flow) perbankan. Penyelesaian masalah stock berkaitan dengan neraca suatu bank, yakni di sisi aktiva akan terkait terutama dengan penyelesaian kredit bermasalah sedangkan di sisi pasiva akan lebih berkaitan dengan upaya rekapitalisasi bank. Instrumen yang banyak digunakan dalam penyelesaian masalah stock ini dapat dilihat pada.
Namun, penyelesaian masalah solvabilitas saja tidaklah cukup untuk menyehatkan sistem perbankan secara berkesinambungan. Upaya pemulihan profitabilitas dan pencegahan munculnya kembali kerugian harus pula dilakukan segera setelah masalah stock dapat diselesaikan atau paling tidak setelah program yang jelas telah dimiliki. Hal ini terutama berkaitan dengan penyempurnaan sistem akunting, kerangka hukum dan ketentuan prudensial yang melandasi operasi bank, struktur kelembagaan serta penyempurnaan supervisi perbankan.
Patut dikemukakan, survei yang dilakukan IMF (1997), menemukan banyak negara yang berhasil dalam menyelesaikan masalah stock, tetapi hanya sebagian saja yang berhasil memecahkan masalah flow. Fakta ini menunjukkan bahwa strategi restrukturisasi perbankan yang baik harus mencakup penyehatan individual bank dan sistemnya, serta lingkungan eksternal yang kondusif bagi kesehatan operasionalnya.
Secara garis besar strategi restrukturisasi perbankan yang ditempuh di banyak negara dapat dilihat dari tiga aspek, yakni:
a. Bagaimana menstabilkan sistem keuangan/perbankan secepat mungkin. Strategi yang diterapkan disini bertujuan untuk meredam krisis, memulihkan kepercayaan deposan, dan melindungi sistem pembayaran nasional secepat mungkin. Namun, dalam situasi situasi krisis yang sistemik dengan pelarian simpanan yang sangat besar maka strategi kebijakan dan instrumen yang tersedia menjadi amat terbatas. Oleh karena itu, di banyak negara penyediaan likuiditas oleh bank sentral sebagai lender of the last resort, dan likuiditas darurat lainnya seperti kemudahan overdraft bagi bank-bank sering dilakukan bila fasilitas likuiditas yang normal tidak mencukupi. Di beberapa negara seperti Swedia, Turki, Finlandia, Thailand, dan Korea penerapan skim jaminan yang menyeluruh (blanket guarantee sheme) baik kepada deposan maupun kreditur menjadi bagian yang cukup berhasil dalam menstabilkan sistem keuangan secara menyeluruh. Namun, keberhasilan dari strategi ini akan sangat tergantung kepada kemampuan untuk meminimalkan moral hazard baik melalui penalti suku bunga yang tinggi ataupun bentuk penalti nonmoneter seperti penggantian manajemen, penguasaan aset/kepemilikan bank, dan sebagainya.
b. Bagaimana menyelesaikan masalah solvabilitas (stock) bank. Setelah krisis dapat dikendalikan maka restrukturisasi perbankan diarahkan untuk memulihkan kesehatan posisi keuangan perbankan melalui restrukturisasi keuangan (financial restructuring), baik di sisi aktiva maupun sisi pasiva. Instrumen yang digunakan di banyak negara sangat bervariasi tergantung kepada sumber dan intensitas permasalahan yang dihadapi). Masalah yang akan dihadapi adalah bagaimana dampak dari instrumen yang digunakan kepada kondisi moneter dan fiskal, distribusi kerugian yang dibebankan kepada pemerintah, pemilik bank, kreditur, dan deposan, serta efektivitas pengembalian kredit bermasalah (loan recovery). Hal-hal ini akan kritikal bagi pengendalian moneter yang independen dan pengurangan moral hazard.
c. Bagaimana mendorong perbankan kembali beroperasi secara sehat. Seperti disinggung sebelumnya, penyehatan posisi keuangan bank tidak akan lengkap bila tidak diikuti oleh perbaikan lingkungan eksternal tempat beroperasinya perbankan (restrukturisasi operasional). Oleh karena itu, strategi restrukturisasi perbankan dalam tahap restrukturisasi operasional diarahkan untuk menjawab kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem akunting, konfigurasi sektor perbankan dan kerangka hukum yang akan mempengaruhi gerak operasional perbankan di masa depan. Dalam praktiknya, langkah-langkah yang diambil di banyak negara berkaitan dengan upaya menciptakan sistem perbankan yang dapat mendorong disiplin pasar (market discipline) melalui kompetisi dan exit-policy yang tegas. Dilihat dari sisi otoritas perbankan maka ini berarti akan menyangkut pula penyempurnaan aspek kerangka hukum dan supervisi perbankan.
Aspek hukum dan politik dari restrukturisasi perbankan
Pengalaman di berbagai negara menunjukkan bahwa restrukturisasi perbankan secara sistemik merupakan suatu proses yang panjang (multi-tahun) dan penyelesaiannya sering bersinggungan dengan dimensi sosial dan politik. Hal ini dapat dimengerti mengingat krisis perbankan yang sistemik memberikan dampak negatif yang amat luas di dalam suatu perekonomian. Munculnya resistensi terhadap perubahan drastis yang diperlukan dalam mengatasi krisis perbankan mengakibatkan banyaknya benturan kepentingan, baik di tingkat pemerintahan, dunia usaha, maupun masyarakat luas. Dalam banyak kasus, penyelesaian konflik yang kurang efektif akibat ketiadaan konsensus nasional dan dukungan politik serta landasan hukum yang tegas menjadikan proses restrukturisasi perbankan tertunda-tunda. Apabila ini terjadi maka program restrukturisasi perbankan akan berjalan sangat lambat dan pada akhirnya memerlukan langkah korektif yang lebih drastis dan biaya fiskal yang amat besar.