Permasalahan
Mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional (Kadivhubinter) Mabes Polri, Irjen Napoleon Bonaparte, disebut mengirimkan surat palsu mengenai red notice Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra kepada Direktorat Jenderal Imigrasi.
Menurut Tommy Sumardi, pengusaha yang juga merupakan rekan Djoko Tjandra, bukti surat penghapusan red notice yang diberikan Napoleon Bonaparte adalah palsu. Hal itu ia ketahui saat Djoko Tjandra menghubunginya dan menyatakan surat dari Napoleon adalah palsu. Tommy tidak memaparkan lebih lanjut mengenai maksud surat palsu tersebut. Ia hanya dikabarkan langsung oleh Djoko Tjandra bahwa surat itu palsu.
Setelah itu, Ia melapor surat palsu ke mantan Kepala Biro Koordinator Pengawas PPNS Bareskrim Polri Brigjen Prasetijo Utomo, orang yang mengenalkannya kepada Napoleon. Sebagau informasi, Brigjen Prasetijo Utomo ikut menjadi terdakwa dalam kasus dugaan pemalsuan sejumlah surat ini bersama Djoko Tjandra dan Anita Kolopaking.
Pada persidangan, Tommy yang sudah mengenal Djoko Tjandra sejak 1998 mengakui diperintah oleh terpidana korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali untuk mengecek statusnya dalam red notice ke Mabes Polri.
Setelah mendapat rekomendasi dari pesan, Tommy lantas menghubungi Prasetijo. Prasetijo lalu membawa Tommy ke ruangan Irjen Napoleon untuk membicarakan hal itu lebih lanjut. Kepada Tommy, Napoleon menyatakan bahwa red notice Djoko Tjandra sudah terbuka.
Tommy mengaku saat itu Napoleon mengatakan bahwa red notice atas nama Djoko Tjandra sudah dibuka (oleh Interpol Pusat di Lyon, Perancis). Hanya saja, beberapa waktu kemudian ia menyerahkan uang yang bersumber dari Djoko Tjandra sekitar Rp 7 miliar kepada Napoleon.
Bantah Beri Suap
Di sisi lain Djoko Tjandra membantah telah menyuap dua jenderal polisi, Irjen Napoleon Bonaparte dan Brigjen Prasetijo Utomo, terkait pengurusan red notice dan penghapusan daftar pencarian orang (DPO) atas nama dirinya. Djoko juga membantah sering berkomunikasi dengan Tommy guna menanyakan perkembangan pengurusan red notice dan DPO. Ia berujar hanya sesekali berkomunikasi ketika Tommy meminta uang.
Dalam persidangan, Djoko juga menampik telah melakukan negosiasi dengan Napoleon agar membantu dirinya kembali ke Indonesia tanpa ditangkap. Ia mengungkapkan penyerahan uang kepada pejabat kepolisian inisiatif Tommy. Lebih lanjut, Djoko juga menepis pernyataan Tommy tentang surat pengurusan red notice yang disebut palsu. Ia mengklaim tidak tahu menahu perihal surat tersebut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebelumnya mendakwa Djokotelah menyuap dua jenderal polisi guna membantu menebus namanya dari DPO di Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM. Upaya tersebut alarm agar Djoko nantinya bisa masuk ke wilayah Indonesia secara sah dan tidak ditangkap oleh aparat penegak hukum lantaran berstatus buronan. Kapolri Jenderal Pol Idham Azis langsung mencopot Kadiv Hubinter Polri Irjen Pol Napoleon Bonaparte dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Pol Nugroho Slamet Wibowo pada Jumat (17/7).
Pencopotan jabatan tersebut merupakan sikap tegas Kapolriterhadap kode etik yang dilakukan mempengaruhi terkait pengiriman surat Brigjen Nugroho pada 5 Mei 2020 kepada Dirjen Imigrasi tentang pemberitahuan informasi red notice atas nama Djoko Soegiarto Tjandra yang telah terhapus dari basis data sistem Interpol sejak 2014 karena tidak ada permintaan penambahan dari Kejaksaan RI.
Ia berencana mendaftar Peninjauan Kembali (PK) atas putusan Mahkamah Agung (MA) yang menghukumnya dengan pidana 2 tahun penjara dan denda Rp 15 juta subsider 3 bulan kurungan atas korupsi hak tagih (cessie) Bank Bali.
Dalam kasus dugaan pemalsuan sejumlah surat ini, Djoko Tjandra menjadi Pengacara bersama pengacaranya Anita Kolopaking dan Brigjen Prasetijo Utomo.
Kesimpulan
Kasus di atas adalah contoh tindakan yang melanggar kode etik profesi hukum, karena 2 Jendral Polisi menerima suap untuk pengahapusan red notice untuk membantu buronan Djoko Tjandra. Pada dasarnya kode etik sangat dibutuhkan dalam sebuah profesi penegak hukum. Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma-norma atau aturan-aturan yang merupakan kesatuan landasan etik atau filosofis yang berkaitan dengan perilaku atau ucapan mengenai hal-halyang diwajibkan, dilarang, patut, atau tidak patut dilakukan oleh Anggota Polri dalam melaksanakan tugas, berwenang, dan tanggung jawab jabatan.