Pembahasan tentang konsep negara (staatside) menjadi bagian sangat penting karena mempunyai pengaruh besar terhadap penafsiran aturan dasar dalam tata negara dan penempatan hakikat antara negara dengan warga negaranya. Menurut Ni’matul Huda dalam “Kesimpulan Cita Negara” yang dijelaskan oleh Oppenheim, Cita negara adalah hakikat yang paling dalam dari negara sebagai kekuatan yang membentuk negara atau hakikat negara yang menetapkan bentuk negara.
Sejak awal perumusan, UUD 1945 sudah menjadi perang ideologi dan dasar filsafat negara yang ingin dipakai. Proponen atau penyokong perjuangan seperti Soepomo dan Soekarno mendukung diterapkannya paham integralistik atau kekeluargaan dalam dasar konstitusi negara kita. Pandangan teori ini mendefinisikan bahwa negara didirikan bukanlah untuk menjamin kepentingan individu atau golongan, melainkan menjamin masyarakat seluruhnya sebagai kesatuan (Ni’matul Huda, 2008).
Pada sisi lain, ada pula anggota BPUPKI yang menganut paham demokrasi seperti M. Hatta, M. Yamin dan Maria Ulfah. Inilah sebabnya, meskipun UUD 1945 kita mengandung aspirasi tentang demokrasi, keadilan sosial, jaminan hak asasi manusia dan hak warga negaranya dalam pasal-pasalnya yaitu, Pasal 1 ayat (2), Pasal 27, 28, 29 ayat (2) dan Pasal 31.
[rml_read_more]
Akan tetapi, UUD kita juga mengandung unsur integralistik atau kekeluargaan. Indonesia menjadi negara unik dimana pemahaman atau ideologi tentang sistem konsep negaranya berasal dari berbagai teori tentang kenegaraan. Tak jarang hal ini juga menjadi perdebatan diantara para ahli hukum tata negara mengenai ideologi atau sistem konsep negara indonesia itu sendiri.
Beberapa perdebatan di kalangan para ahli antara lain, liberalisme atau illiberalisme, demokrasi atau tidak, sekuler atau keagamaan dan masih banyak lagi. Padahal, pemahaman atau ideologi tentang sistem atau konsep negara Indonesia itu, mencangkok berbagai ideologi dari berbagai pemahaman yang dibentuk oleh para filsuf ahli negara.
Pada sisi lain, padanan kata liberal dan illiberalisme masih terasa asing di perbendaharaan bahasa kita. Liberalisme sendiri dalam arti ringkasnya berarti kebebasan. Kebebasan disini apabila dikerucutkan kembali dalam pandangan liberalisme memiliki arti kesetaraan hak antara individu dengan individu lainnya, memiliki keleluasaan, bebas dalam berpikir dan yang paling penting adalah penghargaan atas hak dan kebebasan individu.
Bagi kaum liberal, kebebasan individu atas hak-hak pribadinya adalah unsur yang terpenting dalam membangun masyarakat yang ideal. Sementara itu, lawan kata dari liberal ialah illiberalisme. Akademisi menganggap bahwa demokrasi illiberal bukanlah demokrasi. Illiberalisme atau demokrasi illiberal adalah suatu sistem dimana pemerintahan tetap melaksanakan pemilu akan tetapi kebebasan sipil dikekang sehingga individu dalam lingkaran organisasi atau pemerintahan itu tidak mengetahui aktivitas pemegang kekuasaan yang sesungguhnya. Oleh karena itu, illiberalisme sangat bertentangan dengan paham liberal yang menganut kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Hal lain yang tak kalah pula membosankan untuk dibahas tak lain adalah, kecenderungan politik Indonesia pada ideologi illiberalisme dan praktik oligarki yang kian marak. Posisi rakyat sekarang hanyalah sebagai pelaksana pemilu dan posisinya terputus karena rakyat sama sekali tidak mengetahui tentang kekuasaan yang dipegang oleh para penguasa, elit dan oligarki itu digunakan untuk apa. Padahal agenda reformasi konstitusi kita adalah memperbaiki sistem ketatanegaraan Indonesia yang nantinya akan condong pada demokrasi liberal. Tetapi, kenyataannya sistem tata negara kita lebih condong terhadap demokrasi illiberal dengan sedikit cangkokkan dari sistem demokrasi liberal.