Selain masa pandemi sekarang yang menjadi tantangan sarjana hukum kelak adalah kemajuan teknologi dalam era digital dimana kemajuan teknologi ini menjadi satu tantangan sendiri bagi pengemban profesi hukum ke depannya. Peran dan posisi sarjana hukum di Indonesia dapat digantikan oleh kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) yang dimiliki oleh kecanggihan mesin seperti robot atau aplikasi.
Kecerdasan buatan atau AI adalah kecerdasan yang ditambahkan kepada suatu system yang bisa diatur dalam konteks ilmiah. Andreas Kaplan dan Michael Haenklein mendefinisikan kecerdasan buatan sebagai “kemampuan sistem untuk menafsirkan data eksternal dengan benar, untuk belajar dari data tersebut, dan menggunakan pembelajaran tersebut guna mencapai tujuan dan tugas tertentu melalui adaptasi yang fleksibel”.
Sistem seperti ini umumnya dianggap komputer. Kecerdasan diciptakan dan dimasukkan ke dalam suatu mesin (komputer) agar dapat melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan manusia. Beberapa macam bidang yang menggunakan kecerdasan buatan antara lain sistem pakar, permainan komputer (games), logika fuzzy, jaringan saraf tiruan dan robotika.
Interaksi orang-orang dengan hukum di era digital telah berubah pada masa kemajuan teknologi era revolusi industri 4.0. Seluruh aspek masyarakat bahkan para professional hukum dan para penegak hukum harus beradaptasi. Ada tiga penyebab yang dikemukakan oleh Hakim Aedit Abdullah dari Mahkamah Agung Singapura: kehadiran AI, komodifikasi hukum, dan semakin mudahnya komunikasi. Mewakili otoritas hukum Singapura, Abdullah menjelaskan kepada hadirin Techlaw.