Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) merupakan alat utama pemerintah untuk menyejahterakan rakyatnya dan sekaligus alat pemerintah untuk mengelola perekonomian negara. Sebagai alat pemerintah, APBN bukan hanya menyangkut keputusan ekonomi, namun juga menyangkut keputusan politik. Dalam konteks ini, DPR dengan hak legislasi, penganggaran, dan pengawasan yang dimilikinya perlu lebih berperan dalam mengawal APBN sehingga APBN benar-benar dapat secara efektif menjadi instrumen untuk menyejahterakan rakyat dan mengelola perekonomian negara dengan baik.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sejak beberapa tahun yang lalu telah dilakukan Reformasi Manajemen Keuangan Pemerintah. Reformasi tersebut mendapatkan landasan hukum yang kuat dengan telah disahkannya Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan Undang-undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung jawab Keuangan Negara.[1]
Salah satu tujuan utama dari desentralisasi fiskal adalah untuk lebih memandirikan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota atau mengurangi kesenjangan fiskal baik kesenjangan fiskal vertikal dan horizontal. Desentralisasi fiskal juga diharapkan bisa meningkatkan pendapatan sumber-sumber penerimaan di daerah.
DAU sebagai salah satu bagian dari dana transfer ke daerah dan bentuk dari desentralisasi fiskal bertujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal vertikal maupun horizontal yang terjadi karena adanya perbedaan kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal antara daerah satu dengan daerah lainnya.
Kesenjangan fiskal ini sangat dipengaruhi oleh alokasi pendapatan sumber daya alam. Prosentase bagi hasil sumber alam memberikan penghasilan yang cukup signifikan bagi penerimaan pemerintah daerah yang kaya akan sumber daya alam.[2]
Cheema dan Rondinelli menjelaskan bahwa desentralisasi dalam perspektif kebijakan dan administrasi merupakan bentuk transfer perencanaan, pengambilan keputusan, atau otoritas administratif dari pemerintah pusat kepada organisasinya di lapangan, unit-unit administratif lokal, organisasi semi-otonom, dan organisasi parastatal, pemerintah lokal (daerah) atau lembaga non-pemerintah.[3]
Desentralisasi fiskal pada dasarnya merupakan salah satu turunan pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Hal ini sesuai dengan yang diamanatkan dalam Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Dalam undang-undang tersebut telah diatur bahwa kebijakan desentralisasi fiskal meliputi alokasi Dana Alokasi Umum (DAU) sebagai sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan daerah, Dana Bagi Hasil (DBH) yang merupakan ekstraksi Sumber Daya Alam (SDA) yang berasal dari daerah yang bersangkutan dan diberikan otoritas pajak yang terbatas pada pemerintah daerah.[4]
Inisiasi desentralisasi fiskal didasarkan pada tujuan dari kebijakan fiskal yaitu efisiensi alokasi sumber daya, redistribusi pendapatan, dan pengelolaan ekonomi makro.11 Berdasarkan ketiga tujuan tersebut maka hal tersebut pernah digariskan juga oleh Musgrave sebagai fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.[5] Terakhir, yang menjadi argumentasi diimplementasikannya kebijakan desentralisasi fiskal antara lain:
- Untuk mengatasi kesenjangan fiskal (fiscal gap).
- Argumentasi politik.
- Untuk meningkatkan tingkat efektivitas belanja pemerintah.
Untuk meneliti desentralisasi fiskal sebagai bagian dari proses kebijakan publik maka bisa dilihat dari para elit yang membuat kebijakan tersebut. Menurut Ahli Kebijakan Publik, Grindle dan Thomas yang menjelaskan bahwa ada dua kondisi yang dapat dianalisis yaitu adanya politik makro dan politik mikro.[6]
Politik makro artinya para elit kebijkan menitikberatkan pada masalah yang memengaruhi legitimasi rezim, sasaran-sasaran politik, dan ekonomi dalam jangka panjang, nasional. Sedangkan politik mikro biasanya dijumpai bukan krisis, terkait dengan tuntutan parokial dari kelompok tertentu, pemanfaatan sumber daya kebijakan utnuk memelihara relasi dengan klien politik, pembagian sumber daya kebijakan untuk memperoleh kontrol politik, kepentingan-kepentingan elit dalam jangka pendek.
Oleh karena itu, kebijakan desentralisasi fiskal dalam implementasinya dipengaruhi tingkat demokrasi lokal.[7] Demokrasi lokal akan berfungsi secara baik dalam lingkungan masyarakat yang secara tingkat ekonomi dan sosial bersifat homogen. Namun devolusi kewenangan dalam sektor perpajakan akan menimbulkan dampak eksternalitas vertikal.[8]
Selain itu, banyak negara berkembang mengimplementasikan kebijakan desentralisasi fiskal dikarenakan untuk meloloskan diri dari jebakan-jebakan (traps) ketidakefisienan pemerintahan, ketidakstabilan makro ekonomi dan ketidakcukupan pertumbuhan ekonomi yang telah menyebabkan negara-negara itu jatuh terperosok akhir-akhir ini.[9]Sedangkan, menurut Ebel, kebijakan desentralisasi fiskal diimplementasikan bertujuan untuk:[10]
- Pembagian peran dan tanggung jawab antarjenjang pemerintahan.
- Penguatan sistem pendapatan daerah atau perumusan sistem pelayanan publik di daerah.
- Transfer antarjenjang pemerintahan.
- Swastanisasi perusahaan milik pemerintah.
- Penyediaan jaring pengaman sosial.
Terakhir, menurut Machfud Sidik, tujuan dari kebijakan desentralisasi fiskal harus dapat menjamin:
- Kesinambungan kebijakan fiskal (fiscal sustainability) dalam konteks kebijakan ekonomi makro;
- Mengadakan koreksi atas ketimpangan antar daerah (horizontal imbalance) dan ketimpangan antara pemerintahan pusat dan daerah (vertical imbalance) untuk meningkatkan efisiensi pengalokasian sumber daya nasiona maupun kegiatan pemerintah daerah;
- Memenuhi aspirasi dari daerah, memperbaiki struktur fiskal, dan memobilisasi pendapatan secara regional dan nasional;
- Meningkatkan akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam pengambilan keputusan di tingkat daerah;
- Memperbaiki keseimbangan fiskal antar daerah dan memastikan adanya pelayanan yang berkualitas di setiap daerah;
- Menciptakan kesejahteraan secara sosial bagi masyarakat.
Dalam pemikiran David Held dijelaskan bahwa hubungan pemerintah pusat dan daerah dalam dimensi sistem kekuasaan negera ternyata masih bersifat ambigu.[11] Negara dalam pemikiran Held diposisikan sebagai arena pergulatan sosial yang dimanifestasikan dalam bentuk organisasi, administrasi dan kebijakan-kebijakan yang didihasilkan.
Menurut Burns, dkk bahwa ciri khas negara sering menampakkan perjuangan daerah untuk mendapatkan otonomi yang lebih sesuai merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan.[12] Walaupun proyek sentralisasi telah diimplementasikan sejak lama, tetapi pada dasarnya teritori sub-nasional (provinsi) tetap memelihatkan kekenyalan dalam mempertahankan ekspresi organisasi sosial-ekonomi dan budaya masing-masing, melawan upaya homogenisasi.[13]
Pola pembagian kekuasaan dan tangung jawab pun ketika konsep desentralisasi diimplementasikan maka tidak bisa bersifat statis. Pergeseran kekuasaan dan tanggung jawab bisa berubah bentuk karena ada perubahan orientasi kearah sentralisasi atau desentralisasi.