Hal ini dikarenakan pemidanaan kepada insan pers berbeda dengan melakukan pemidanaan kepada orang awam. Merujuk pada Pasal 7 ayat (2) UU Pers, seorang insan pers terikat oleh kode etik jurnalistik. Pada Pasal 15 ayat (2) UU Pers, keberlakuan kode etik jurnalistik tersebut diawasi oleh mekanisme Dewan Pers. Sehingga, penerapan hukuman pidana kepada insan pers dapat dilakukan hanya apabila didahului oleh mekanisme Dewan Pers. Tetapi apabila penerapan hukuman pidana dilakukan hanya mengacu pada pasal yang kemudian mengatur perbuatan contempt of court tersebut, maka hal tersebut telah mengingkari hak konstitusional insan pers yang telah dijamin oleh Konstitusi.
Pengaturan Contempt of Court dan Kebebasan Pers di Indonesia
Sejatinya, Contempt of Court terutama pada kategori penghinaan melalui jalur publikasi merupakan suatu hal yang bertujuan baik. Namun, pemidanaan terhadap insan pers karenanya bukanlah hal yang elok untuk dilakukan. Apabila demikian dilakukan, maka menjadi hal yang tepat jikalau terdapat pihak yang mengemukakan bahwa absolutisme akan lahir dalam pasal terkait contempt of court.
Sehingga terdapat beberapa muara jawaban dalam mengakhiri polemik tersebut. Diantaranya adalah dengan memberikan pengecualian kepada insan pers yaitu dengan memberikan hak pemeriksaan awal kepada Dewan Pers atau menerapkan peraturan internal dari lembaga peradilan perihal mekanisme kegiatan insan pers di lembaga peradilan. Kedua hal tersebut akan dapat menjadi sebuah cara persuasif yang lebih baik dibandingkan dengan melakukan tindakan represif seperti pemidanaan. Karena tidak seluruh masalah harus diselesaikan melalui pemidanaan karena sejatinya Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara undang-undang. Oleh karena itu, pasal yang akan mengatur perbuatan Contempt of Court di kemudian hari harus mempertimbangkan seluruh aspek secara komprehensif.