Sebelum marak menjadi perbincangan publik terkait pengaturannya dalam R-KUHP sebagaimana dilansir pada tulisan Bayu Dwi Anggono yang berjudul “Ikhwal RUU Contempt of Court”, Contempt of Court sendiri diatur pula secara khusus dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Penyelenggaraan Peradilan (Contempt of Court). RUU Contempt of Court ini pernah tercatat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019 sebagai usulan DPR. Namun hingga berakhirnya masa bakti DPR periode 2014-2019, RUU ini tidak terdengar dengung realisasinya.
Melansir pernyataan Wakil Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Sunarto pada Kompas.com tertanggal 2 Agustus 2019 , perumusan perbuatan Contempt of Court dalam sebuah peraturan perundang-undangan secara khusus adalah tidak lain untuk melindungi keadilan hukum dan tidak hanya digunakan untuk melindungi para penegak hukum secara pribadi. Namun dalam perkembangannya, justru pengaturan perbuatan Contempt of Court dalam sebuah undang-undang khusus dikritisi oleh berbagai pihak seperti Persatuan Advokat Indonesia (Peradi) hingga lembaga swadaya masyarakat. Dilansir dari dari Tempo.co tertanggal 3 September 2019, Luhut Panggaribuan selaku Ketua Peradi mengungkapkan bahwa pengaturan perbuatan Contempt of Court dalam sebuah pasal akan memunculkan absolutisme terhadap kekuasaan hakim. Dengan munculnya absolutisme tersebut akan rentan melahirkan restriksi terutama pada media pers. Perbedaan pandangan yang berlarut inilah yang seakan menjadi jawaban mengenai hilangnya dengung RUU Contempt of Court dalam Prolegnas 2015-2019.
Perlindungan Hak Konstitusional Insan Pers
Sebagaimana yang telah diuraikan, salah satu permasalahan terhadap pemberlakuan aturan mengenai Contempt of Court adalah terdapat ruang restriksi kepada media pers. Apabila merujuk pada dasar menimbang (konsiderans) huruf (a) UU Pers, kemerdekaan pers merupakan wujud kedaulatan rakyat yang dijamin oleh Pasal 28 Konstitusi. Dimana Pasal 28 Konstitusi menegaskan bahwa negara menjamin kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan lisan tulisan yang dilakukan oleh Warga Negara. Pers sendiri merupakan wujud dari kegiatan mengeluarkan pikiran melalui tulisan.
Apabila mengutip pendapat Jimly Asshiddiqie, hak konstitusional merupakan hak Warga Negara yang dijamin di dalam Konstitusi. Sehingga kegiatan yang dilakukan oleh media pers telah dijamin oleh Konstitusi. Oleh karena itu, dengan melakukan pemidanaan kepada insan pers merupakan suatu hal yang berlebihan. Meskipun apabila hal tersebut dihubungkan dengan perbuatan Contempt of Court yang dimungkinkan dilakukan oleh insan pers.