Frasa “barangsiapa” ini selalu diberikan tafsiran untuk “orang” atau “individu”, bukan dalam kualifikasi sebagai korporasi. Alasan yuridis-historis mengapa KUHP tidak mengakomodasi korporasi sebagai subjek hukum ialah karena produk hukum masih merupakan produk lama di masa kolonial Belanda, yang pada saat itu belum mengenal korporasi sebagai subjek hukum pidana.
Kini Indonesia berupaya menjerat korporasi yang menyalahgunaan psikotropika, di luar KUHP. Meskipun secara hukum korporasi dapat diminta pertanggungjawaban pidana, sanksi yang diberikan berbeda dengan pemidanaan bagi manusia atau individu. Sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada korporasi dapat berupa penjatuhan pidana denda hingga pencabutan izin usaha untuk selamanya maupun hanya sementara waktu.
Pemidanaan korporasi diatur dalam Pasal 59 ayat (3) UU Psikotropika, yang menentukan bahwa korporasi dapat dikenakan denda hingga Rp 5.000.000.000 (lima milyar rupiah) ketika melakukan tindak pidana. Menurut Pasal 70, korporasi juga dapat dikenakan denda yang dapat dilipatgandakan hingga tambahan pencabutan izin usaha.
Terdapat beberapa perbedaan mendasar antara UU Psikotropika dan UU Narkotika. Hanya UU Narkotika yang mengatur korporasi sebagai pembuat, dan pengurus yang dipertanggungjawabkan, sedangkan UU Psikotropika tidak menyebutkan korporasi sebagai pembuat dan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan apabila korporasi melakukan tindak pidana psikotropika.
Menurut UU Psikotropika, jika tindak pidana dilakukan oleh korporasi, ditentukan “di samping dipidananya pelaku tindak pidana (orang), juga korporasi dapat dikenakan pidana denda”. Tidak ada penegasan baik dalam pasal maupun penjelasan pasal bahwa pengurus korporasi dapat dipidana.