- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/ tentang sengketa perbuatan melawan hukum (PMH) oleh KPU RI terhadap Partai Prima telah mengundang perdebatan di kalangan ahli hukum dan masyarakat. Beberapa kritik yang muncul di antaranya terkait dengan kompetensi hakim dalam kasus ini dan dugaan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Pertanyaan besarnya dalam aspek apa bertentangan dan melanggar? Jika berdasarkan Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, secara konstitusional pemilu telah ditentukan secara periodik lima tahun sekali. Pertanyaan selanjutanya adalah, jika dalam proses pelaksanaan pemilu terjadi perbuatan melawan hukum dan melanggar hak konstitusional warga negara/kelompok/partai politik, apakah proses tetap dipaksakan untuk dilaksanakan? Apakah dilakukan dengan mengabaikan perintah pengadilan?
Penundaan pemilu dimaksudkan untuk memberikan waktu tambahan kepada penggugat dan tergugat untuk menyiapkan segala persiapan untuk melaksanakan perintah pengadilan. Hal ini berimplikasi pada ketidaktepatan waktu penyelengaraan pemilu. Secara hukum penundaan pemilu dapat dilakukan, sebagaimana Pasal 431-433 UU 7/2017. Pasal 431 ayat (1) menyebutkan, “dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan; bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan.”
Pelaksanaan pemilu lanjutan sebagaimana Pasal 431 ayat (1) UU 7/2017 dimulai dari tahap di mana penyelenggaraan pemilu terhenti. Sementara itu, Pasal 432 ayat (1) menyebutkan “dalam hal di sebagian atau seluruh Wilayah Negara Kesatuaan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan seluruh tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu susulan”.
Pemilu susulan yang dimaksud dilakukan untuk seluruh tahapan penyelenggaraan pemilu. Penundaan pemilu merupakan kewenangan KPU sebagai penyelanggara pemilu. Akan tetapi, apakah putusan pengadilan yang memerintahkan penundaan pemilu merupakan pelanggaran hukum? Lalu, apakah dalam praktik hukum di beberapa negara di dunia, pengadilan negeri tidak mempunyai kewenangan dalam memerintahkan penundaan pemilu? Oleh sebab itu, argumentasi Putusan PN Jakarta Pusat bertentangan dengan konstitusi menjadi ambigu karena konstitusi memerintahkan untuk mengikuti/melaksanakan putusan pengadilan dan mengakui kebebasan hakim.
Terkait dengan sengketa pemilu di Indonesia, penting untuk memastikan bahwa hukum penyelesaian sengketa sesuai dengan demokrasi dan hak asasi manusia. Selain itu, penegakan hukum juga harus berjalan secara adil dan tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik tertentu. Semua pihak harus mematuhi dan menghormati putusan pengadilan, sehingga tercipta stabilitas politik dan hukum yang kokoh di Indonesia. Sebagai penutup penting untuk memahami bahwa setiap pendapat hukum berada pada tataran “ketidakpastian,” sebagaimana pernyataan Immanuel Kant, “tidak ada seorang yuris pun yang mampu membuat definisi hukum yang tepat.”