- Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 757/Pdt.G/2022/ tentang sengketa perbuatan melawan hukum (PMH) oleh KPU RI terhadap Partai Prima telah mengundang perdebatan di kalangan ahli hukum dan masyarakat. Beberapa kritik yang muncul di antaranya terkait dengan kompetensi hakim dalam kasus ini dan dugaan bahwa putusan tersebut bertentangan dengan konstitusi.
Tulisan ini berisi argumentasi pembanding terhadap alasan penolakan Putusan PN Jakarta Pusat terhadap PMH KPU. Tulisan ini semata-mata sebagai tanggung jawab ilmiah karena hampir seluruh pendapat ahli hukum, masyarakat, politisi dan berita di internet melegitimasi pernyataan seolah-olah hakim sebagai orang “bodoh” yang tidak mengerti hukum.
Beberapa argumentasinya adalah sebagai berikut:
Hakim keliru menafsirkan kompetensinya dalam PMH yang melibatkan badan negara atau pejabat pemerintah
Argumentasi pihak penentang mendasari argumentasi ini, pada Pasal 2 ayat (1) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 (Perma/2/2019). Pasal ini menyebutkan perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.
Selanjutnya, Pasal 1 angka 4 menyebutkan bahwa sengketa perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad) adalah sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan pejabat pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beseta ganti rugi sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Perlu diperhatikan pula bahwa Perma ini menggunakan istilah perbuatan melanggar hukum, bukan perbuatan melawan hukum.
Jika gugatan mengunakan istilah “perbuatan melawan hukum,” menjadi jelas bahwa ini merupakan kewenangan Pengadilan Negeri dengan dalil Pasal 1365 KUHPerdata dengan Pemerintah/Instansi terkait sebagai pihak Tergugat, karena segi kerugian yang bersifat keperdataan. Selanjutnya secara jelas PMH yang diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata memiliki beberapa unsur antara lain:
- Harus ada perbuatan
- Perbuatan tersebut bersifat melawan hukum.
- Pelaku harus mempunyai kesalahan
- Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian
- Ada hubungan kausal antara perbuatan dengan kerugian.
Sedangkan dalam Perma 2/2019, tidak terdapat penjelasan yang jelas mengenai unsur-unsur yang harus ada dalam sengketa Perbuatan Melanggar hukum oleh Badan/Pejabat Pemerintahan. Pasal 1 angka 4 hanya menyebutkan definisi dari sengketa tersebut, yang meliputi tuntutan untuk menyatakan tidak sah atau batal terhadap tindakan pejabat pemerintahan, atau tuntutan ganti rugi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Berbeda dengan Pasal 1365 KUHPerdata yang menguraikan unsur-unsurnya secara jelas. Tentu jelas, jika pengugat menggunakan istilah “melawan hukum,” hal itu merupakan objek kompetensi pengadilan negeri.
Putusan PN Jakarta Pusat bertentangan atau melanggar konstitusi