Hal ini dapat diartikan bahwa tidak semua orang dapat mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi dan menjadi pemohon. Terpenuhinya syarat kepentingan hukum saja tidak cukup menjadi dasar, namun juga harus berpedoman pada adagium point d’interet point d’action, yakni apabila ada kepentingan hukum boleh mengajukan gugatan. Adapun definisi legal standing (kedudukan hukum) salah satunya mengacu pada pernyataan Harjono yakni sebagai berikut:
Legal standing adalah keadaan di mana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahkamah Konstitusi. Dalam hal ini, pemohon yang tidak memenuhi syarat legal standing yang dimaksud. Mahkamah Konstitusi memutus dengan amar putusan tidak dapat diterima (niet van onvankelijk verklaard).
Kedudukan hukum (legal standing) tersebut mencakup syarat formal yang ditentukan dalam Undang-undang, dan syarat materiil yakni kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya Undang-undang yang dimohonkan pengujiannya, sebagaimana pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pengaturan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi tersebut dipertegas dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Pengujian Undang-Undang sebagaimana Pasal 3 dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi tersebut.
Terdapat tiga syarat yang harus dipenuhi untuk sahnya mengenai kedudukan hukum (legal standing) pemohon pengujian undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Keempat pihak atau subjek hukum di atas (perseorangan WNI, kesatuan masyarakat hukum adat, badan hukum publik, dan lembaga negara [tambahan dari penulis]), pertama-tama haruslah terlebih dahulu membuktikan identitas dirinya memang memenuhi syarat sebagaimana dimaksud oleh Pasal 51 UU Nomor 24 Tahun 2003 tersebut.