Mahkamah Konstitusi dibentuk sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yang baru disamping Mahkamah Agung. Sebagian besar negara demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ditegaskan pada Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen ketiga yang menyatakan: “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.
Pemberian kewenangan hak uji undang-undang kepada Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif yang sejajar dengan pembuat undang-undang yang didasari oleh pandangan bahwa perlunya checks and balances antar lembaga negara. Sebagai produk politik sangat mungkin isi undang-undang bertentangan dengan Undang Undang Dasar 1945, misalnya dikarenakan adanya kepentingan-kepentingan politik pemegang suara mayoritas di parlemen atau adanya intervensi dari pemerintah yang sangat kuat tanpa menghiraukan keharusan untuk taat asas pada konstitusi.
Selama masa orde lama dan orde baru, sangat banyak undang-undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan konstitusi, hal tersebut dikarenakan oleh kehendak politik sepihak dari pemerintah, akan tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya.
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut Undang Undang Mahkamah Konstitusi). Disamping itu, Mahkamah Konstitusi juga telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PMK/2021 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang (PMK).