Beberapa hari lalu publik digegerkan kembali dengan ditetapkannya 6 Laskar FPI sebagai tersangka. Sebagaimana telah diketahui bersama, peristiwa kejar-kejaran antara Laskar FPI yang berusaha melindungi rombongan Habib Rizieq dan rombongan aparat Kepolisian di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 berujung tewasnya enam Laskar FPI. Menurut keterangan Kepolisian, sempat terjadi serangan kepada pihak Kepolisian dan memaksa untuk dilakukannya ‘tembak mati di tempat’ sebagai bentuk pembelaan diri.
Peristiwa yang terjadi di penutup tahun 2020 tersebut membawa dampak yang begitu besar. Apalagi terhadap kredibilitas dan profesionalitas aparat Kepolisian yang dianggap telah melakukan tindakan yang sangat berlebihan. Reaksi tersebut didukung dengan adanya Rekomendasi Komnas HAM yang menyatakan bahawa tindakan Kepolisian yang menewaskan 4 dari 6 Laskar FPI merupakan unlawfull killing.
Harapan publik menjadi kian besar karena salah satu isi rekomendasi tersebut ialah agar rentetan peristiwa ini dilanjutkan melalui mekanisme pengadilan pidana guna mendapatkan kebenaran materiil yang lebih lengkap demi menegakkan keadilan. Rasanya beribu sayang, harapan publik tersebut justru dijatuhkan dengan ditetapkannya ke enam Laskar FPI tersebut menjadi tersangka.
Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri telah menetapkan enam orang Laskar FPI yang terlibat insiden baku tembak di Desember 2020 lalu sebagai tersangka. Dengan dugaan telah dilakukannya tindak kekerasan sebagaimana diatur dalam Pasal 170 KUHP jo. Pasal 1 Ayat (1) dan Ayat (2) Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dan/atau Pasal 214 KUHP.
Banyak pertanyaan yang timbul, termasuk bagi saya pribadi saat membaca banyaknya berita mengenai penetapan tersangka ini. Apalagi setelah saya mengikuti kegiatan Webinar yang diselenggarakan oleh Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum UII (LKBH UII) yang mengangkat tema serupa. Timbulah suatu pertanyaan “memangnya seseorang yang telah meninggal dunia bisa ditetapkan sebagai tersangka?”.
Absurdnya Logika Penyidik
Dalam mengamati peristiwa yang cukup aneh ini, sekaligus untuk menjawab pertanyaan banyak orang mengenai keabsahan penetapan tersangka bagi orang yang sudah meninggal dunia. Dr. Mudzakkir memberikan suatu analisis yang sederhana namun kuat yaitu mengenai keberadaan subjek hukum orang di mata sistem hukum pidana di Indonesia. Sangatlah jelas bahwa subjek hukum orang secara esensial bergantung pada adanya kondisi ‘hidup’ yang melekat padanya.